MENGENAL LEBIH DEKAT MADZHAB SYAFI’I
Tak kenal maka ta’arufan. Begitulah orang menyebutnya. Jika ingin tau seberapa hebat dan dalamnya ilmu suatu madzhab maka kenali dan pelajarilah ilmu tentang madzhab tersebut. Berikut ini adalah sedikit ulasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Madzhab Syafi’i. Semoga bisa memberikan wawasan yang mencerahkan mengenai madzhab Syafi’i.
A. Siapakah Sebenarnya Imam Syafi’i?
Imam Syafi’i (w. 204 H) adalah salah satu imam besar dari imam 4 madzhab yang ada. Bahkan beliau adalah seorang imam besar yang ahli al-Qur’an, ahli Hadits, ahli Ushul Fiqih, ahli Fiqih dan ahli Bahasa yang terkemuka di masanya.
Imam Nawawi (w. 676 H) mengatakan bahwa nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai.[1]
Imam adz-Dzahabi (w. 748 H) mengatakan bahwa Imam Syafi’i lahir di Gaza (palestina) pada tahun 150 H.[2] Imam as-Suyuti (w. 911 H) juga mengatakan beliau lahir di Gaza tahun 150 H dan wafat tahun 204 H.[3]
Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) mengatakan bahwa nasab Imam Syafi’i bertemu dengan nasabnya Rasulullah SAW pada Abdi Manaf bin Qushai.[4] Jadi ternyata Imam Syafi’i memiliki nilai yang tinggi dan keunggulan yang hebat dari segi nasab.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) mengatakan bahwa Imam Syafi’i ketika berusia 7 tahun sudah hafal al-Quran. Bahkan tidak hanya sekedar hafal saja namun juga beliau menguasai ilmu tafsirnya, ulumul Qur’an dan segala macam ilmu yang terkandung di dalam al-Quran. Kemudian saat berusia 10 tahun beliau sudah hafal kitab hadits tershahih di dunia setelah al-Quran[5] yaitu kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik (w. 279 H).[6]
1. Menuntut Ilmu Ke Bani Hudzail
Imam Nawawi (w. 676 H) mengatakan bahwa Imam Syafi’i awal mulanya belajar bahasa arab murni yaitu bahasa arab yang asli dengan tingkat bahasa yang sangat tinggi. Beliau belajar dengan kaum Hudzail yang sangat terkenal kefasihan bahasa arabnya hingga Imam Syafi’i dikenal sebagai al-Imam fi al-Lughah (bahasa).[7]
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) mengatakan bahwa Bani Hudzail adalah kabilah arab yang sangat fasih bahasa arabnya.[8] Bahkan Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) juga mengatakan bahwa Imam Syafi’i telah menguasai bahasa arab yang sangat fasih dari kabilah Hudzail.[9]
2. Menuntut Ilmu Ke Makkah
Imam al-Baihaqi (w. 458 H) mengatakan bahwa pada mulanya Imam Syafi’i belajar syi’ir arab dan menguasai kefasihan bahasa arab dan telah hafal al-Quran dan Hadits di usia 7 tahun sampai usia 10 tahun. Baru kemudian beliau belajar ilmu fiqih di makkah dengan seorang ulama besar yang bernama Imam Muslim bin Khalid az-Zanji (w. 180 H).[10]
Kemudian setelah Imam Syafi’i menguasai ilmu yang di ajarkan oleh Imam Muslim bin Khalid az-Zanji (w. 180 H) dan ulama makkah lainnya beliau diizinkan gurunya untuk berfatwa di usia yang masih belia.
Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) juga mengatakan bahwa Imam Muslim bin Khalid az-Zanji (w. 180 H) pernah berkata kepada Imam Syafi’i: “wahai anak muda, sungguh telah datang masa bagimu untuk berfatwa dalam masalah agama”.[11]
3. Menuntut Ilmu Ke Madinah
Setelah beberapa tahun belajar di Makkah, Imam Syafii (w. 204 H) hijrah ke madinah untuk belajar dengan seorang ulama besar ahli hadits pendiri madzhab maliki yaitu Imam Malik bin Anas (w. 279 H).
Imam al-Baihaqi mengatakan bahwa dulu Imam Syafi’i pernah berkata: “saya telah hafal kitab hadits al-Muwatta karya Imam Malik (w. 279 H) sebelum bertemu dengannya. Ketika saya membacakan kitab al-Muwatta melalui hafalanku, Imam Malik terkagum-kagum dengan hafalan haditsku”.[12]
Selama tinggal di madinah, Imam Syafi’i telah menguasai ilmu madzhab maliki yang dikenal dengan ahlul hadits. Hingga akhirnya dikenal di kalangan para ulama bahwa beliau termasuk Ashabu Malik (pengikut madzhab Maliki).
4. Menuntut Ilmu Ke Iraq
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) mengatakan bahwa setelah Imam Syafi’i belajar dan menguasai ilmu madzhab maliki, beliau pergi ke Iraq untuk belajar dengan seorang ulama besar madzhab hanafi yaitu Imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (w. 189 H).[13]
Selama beberapa tahun di Iraq, Imam Syafi’i menguasai ilmu madzhab hanafi. Dari sinilah kemudian Imam Syafi’i dikenal sebagai imam besar yang menguasai ilmu dua madzhab besar. Sebab beliau telah menguasai ilmu madzhab maliki yang terkenal dengan sebutan ahlul hadits dan menguasai ilmu madzhab hanafi yang terkenal dengan sebutan ahlur ra’yi.
Selanjutnya beliau pergi ke Yaman untuk belajar dengan Yahya bin Husain dan diangkat sebagai mufti dan sekretaris negara. Beliau juga sempat dituduh sebagai pengikut syiah. Namun akhirnya ditolong oleh gurunya Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (w. 189 H) karena memang tidak terbukti kesyi’ahan beliau. Lalu Imam Syafi’i kembali ke Iraq lagi.
Beliau juga sempat kembali ke Makkah dan telah menjadi ulama besar untuk mengajar di makkah. Kemudian beliau mulai menyusun kitab ushul fiqih sampai akhirnya beliau kembali lagi ke Iraq untuk meresmikan dan mendirikan sebuah madzhab baru. Beliau juga menyusun kitab ushul fiqih yang dikenal dengan kitab ar-Risalah dan menyusun kitab fiqih yang dikenal dengan kitab al-Hujjah di Iraq.
Banyak ulama besar yang belajar dengan beliau di Iraq diantaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Imam az-Za’farani (w. 260 H), Imam al-Karabisi (w. 248 H) dan Imam Abu Tsaur (w. 240 H).
5. Hijrah Ke Mesir Sampai Beliau Wafat
Pada tahun 199 H, Imam Syafi’i (w. 204 H) pindah ke Mesir dan merubah beberapa pendapatnya yang pernah beliau ucapkan di Iraq.
Selama kurang lebih 4 tahun di Mesir beliau menyusun kitab al-Umm. Banyak ulama besar yang belajar dengan beliau di Mesir diantaranya Imam al-Buwaiti (w. 231 H), Imam al-Muzani (w. 264 H), Imam Rabi’ al-Muradi (w. 270 H), Imam Rabi al-Jaizi (w. 256 H) dan Imam Harmalah (w. 243 H).
Imam Nawawi (w. 676 H) mengatakan bahwa Imam Syafii wafat pada malam jumat di akhir bulan Rajab tahun 204 H di mesir pada usia ke 54. Beliau dimakamkan di mesir pada hari jumat setelah waktu ashar.[14]
B. Sanad Keilmuan Imam Syafi’i
Imam Syafi’i (w. 204 H) memiliki sanad keilmuan yang tersambung sampai Rasulullah SAW. Imam Nawawi (w. 676 H) mengatakan bahwa Imam Syafi’i memiliki guru banyak sekali. Diantara guru yang masyhur adalah Imam Malik (w. 279 H), Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H) dan Imam Muslim bin Khalid az-Zanji (w. 180 H).[15]
Adapun Guru beliau yang bernama Imam Malik (w. 279 H) adalah murid dari Rabi’ah bin Abi Abdirrahman dari Anas bin Malik. Imam Malik juga murid dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Kedua sahabat ini belajar dari Rasululah SAW.[16]
Adapun guru beliau yang bernama Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H) adalah murid dari Amr bin Dinar dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dari Rasulullah SAW.
Adapun guru beliau Imam Muslim bin Khalid az-Zanji (w. 180 H) adalah murid Ibnu Juraij dari Atho’ bin Abi Rabah dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas juga mengambil ilmu dari Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit. Semuanya dari Rasulullah SAW.
C. Imam Syafi’i Ahli Ushul Fiqih
Para ulama menyebutkan bahwa Imam Syafi’i (w. 204 H) adalah seorang ulama yang ahli dalam ilmu ushul fiqih. Ilmu ushul fiqih adalah ilmu yang membahas bagaimana cara istimbat hukum atau cara memahami al-Quran dan Hadits yang benar.
Beliau juga termasuk salah satu ulama yang pertama kali menuliskan ilmu ushul fiqih dalam sebuah kitab tersendiri. Kitab ini terkenal dengan nama ar-Risalah. Kitab ar-Risalah ini berisi ushul madzhab syafi’i dan kaidah kaidah dalam memahami al-Quran dan al-Hadits.
Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) mengatakan bahwa Gubernur Abdurrahman bin Mahdi pernah meminta Imam Syafi’i untuk menuliskan sebuah kitab yang berisi cara memahami ayat al-Quran, cara memahami Hadits, Kaidah Nasikh Mansukh dan lain lain. Kemudian Imam Syafi’i menyusun kitab ar-Risalah untuk menjelaskan itu semua.[17]
Imam Dawud bin Ali adz-Dzahiri (w. 270 H) mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah seorang ulama yang terkumpul dalam dirinya banyak kelebihan. Diantara kelebihan beliau adalah penghafal al-Quran, penghafal hadits dan mengetahui cara memahami keduanya dengan benar.[18]
D. Imam Syafi’i Ahli Hadits
Para ulama sepakat bahwa Imam Syafi’i (w. 204 H) adalah seorang muhaddits ternama di zamannya. Sejak usia muda sudah hafal hadits yang terkandung dalam kitab al-Muwatta karya Imam Malik (w. 179 H).
Imam Dzahabi (w. 748 H) mengatakan bahwa Imam Syafii memiliki hafalan hadits yang tidak mungkin salah. Ini menunjukkan akan ketsiqohan beliau dalam ilmu hadits. Bergelar al-Hafidz ats-Tsiqoh al-Hujjah dalam ilmu hadits. Sampai-sampai Imam al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) menuliskan sebuah kitab dengan judul al-Ihtijaj bi al-Imam asy-Syafi’i.[19]
Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) juga mengatakan bahwa Imam Syafi’i telah mendengar banyak hadits dari berbagai ulama. Beliau juga memiliki murid ahli hadits terkenal yang bernama Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Imam Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) pernah ditanya, apakah ada hadits Nabi yang tidak diketahui oleh Imam Syafi’i? beliau menjawab tidak ada.[20]
E. Imam Syafi’i Ahli Fiqih
Tidak diragukan lagi akan keilmuan Imam Syafi’i dalam ilmu fiqih. Beliau adalah salah satu ulama ahli fiqih dari 4 madzhab. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah ahli fiqih yang handal.[21]
Beliau memiliki kitab fiqih diantaranya kitab al-Hujjah, kitab al-Umm, kitab al-Imla’ dan lain lain. Salah satu bukti kefaqihan beliau dalam ilmu fiqih adalah adanya 2 murid yang hebat yang belajar fiqih dengan beliau, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dan Imam Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H).[22]
Bagaimana mungkin Imam Syafi’i bukan seorang yang ahli dalam ilmu fiqih. Beliau sendiri telah menguasai fiqih madzhab Maliki dan fiqih madzhab Hanafi sebelumnya. Dari dua madzhab besar inilah kemudian beliau mendirikan sebuah madzhab fiqih yang kuat dengan penggabungan antara madrasah ahlul hadits (madzhab Maliki) dan madrasah ahlur ra’yi (madzhab Hanafi).
F. Imam Syafi’i Ahli Tafsir
Imam Dzahabi (w. 748 H) mengatakan bahwa Imam Syafi’i ketika menafsirkan ayat al-Quran seolah-olah beliau sedang menyaksikan bagaimana dulu ayat tersebut diturunkan.[23]
Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) juga mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang paling tahu tentang makna ayat al-Quran. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) juga berkata: saya tidak menemukan seorang yang lebih pandai dan lebih mengerti terhadap kitab Allah dari pada Imam Syafi’i.[24]
Imam al-Baihaqi (w. 458 H) juga berkomentar mengenai kehebatan Imam Syafi’i dalam ilmu tafsir. Imam Dawud bin Ali adz-Dzahiri (w. 270 H) juga mengatakan: Imam Syafi’i adalah orang yang paling tahu dan paham akan makna ayat al-Quran. Seandainya aku tahu hal itu maka aku akan berguru padanya.[25]
G. Imam Syafi’i Ahli Bahasa
Salah satu kelebihan Imam Syafi’i adalah penguasaannya terhadap ilmu bahasa arab dan kefasihannya dalam bahasa arab. Beliau dijuluki orang yang paling fasih di zamannya dan dijadikan rujukan dalam ilmu bahasa.
Imam Dzahabi (w. 748 H) mengatakan bahwa Rabi’ bin Sulaiman tidak mampu memahami setiap ucapan Imam Syafi’i disebabkan kefasihan dan gharibnya lafadz-lafadz yang keluar dari lisan Imam Syafi’i. Akan tetapi Imam Syafi’i memudahkan semua itu dalam setiap tulisannya yang ada di dalam kitab kitabnya.[26]
Dengan kepandaian dan kecerdasan beliau dalam ilmu bahasa inilah maka kemudian sangat mudah bagi Imam Syafi’i untuk memahami setiap lafadz yang termaktub di dalam al-Quran dan al-Hadits.
H. Akidah Imam Syafi’i
Adapun akidah Imam Syafi’i (w. 204 H) sama seperti akidahnya Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik (w. 279 H) dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Yaitu akidah yang telah dijelaskan dalam al-Quran dan al-Hadits dan apa yang telah dijelaskan oleh para sahabat dan para thabiin.
Dalam masalah ayat mutasyabihat Imam Syafi’i tidak mentakwilnya. Mengikuti pemahaman para sahabat dengan mengimani ayat mutasyabihat dan menyerahkan hakikat makna tersebut kepada Allah SWT.
Adapun mengenai ayat mutasyabihat, Imam Nawawi (w. 676 H) menjelaskan ada dua madzhab yang berbeda dalam memahami ayat tersebut:
اختلفوا في آيات الصفات وأخبارها هل يخاض فيها بالتأويل أم لا. فقال قائلون تتأول على ما يليق بها وهذا أشهر المذهبين للمتكلمين. وقال آخرون لا تتأول بل يمسك عن الكلام في معناها ويوكل علمها إلى الله تعالى ويعتقد مع ذلك تنزيه الله تعالى وانتفاء صفات الحادث عنه. فيقال مثلا نؤمن بأن الرحمن على العرش استوى ولا نعلم حقيقة معنى ذلك والمراد به مع أنا نعتقد أن الله تعالى ليس كمثله شئ, وأنه منزه عن الحلول وسمات الحدوث. وهذه طريقة السلف أو جماهيرهم. وهي أسلم إذ لا يطالب الإنسان بالخوض في ذلك. فإذا اعتقد التنزيه فلا حاجة إلى الخوض في ذلك والمخاطرة فيما لا ضرورة بل لا حاجة إليه. فإن دعت الحاجة إلى التأويل لرد مبتدع ونحوه تأولوا حينئذ, وعلى هذا يحمل ما جاء عن العلماء في هذا. والله أعلم.[27]
Terjemah: para ulama berbeda pendapat dalam masalah ayat dan hadits yang berkaitan dengan shifat Allah SWT. Diantara ulama ada yang mengatakan perlu ditakwil dengan makna yang sesuai, ini adalah madzhab mutakallimin. Diantara ulama juga ada yang berpendapat tidak perlu ditakwil bahkan tidak perlu membicarakannya secara mendalam. Madzhab ini menyerahkan ilmu tersebut kepada Allah SWT. Misalnya kita beriman bahwa Allah SWT bersemayam diatas Arasy namun kita tidak tahu hakikat makna sebenarnya. Dengan berkeyakinan bahwa tidak ada yang serupa denganNYA, tidak dibatasi dengan tempat dan waktu. Pendapat ini adalah pendapat salaf dan jumhur ulama. Akan tetapi jika takwil dibutuhkan untuk membantah ahli bid’ah maka takwil diperbolehkan dalam hal ini. Wallahu a’lam.
I. Makna “Idza Sohhal Hadits Fahuwa Madzhabi”
Telah masyhur dikalangan para thalibul ilmi mengenai sebuah ucapan Imam Syafi’i yang berbunyi “إذا صح الحديث فهو مذهبي” yang artinya apabila ada sebuah hadits shahih maka itu adalah madzhabku.
Kaidah ini sering diucapkan juga oleh orang di zaman sekarang yang mengaku bahwa mereka adalah pengikut al-Quran dan al-Hadits namun sejatinya mereka adalah pengikut pemahaman mereka sendiri.
Dengan bermodalkan kaidah yang diucapkan oleh Imam Syafi’i diatas, mereka berani mengatakan sesuatu yang sebenarnya itu adalah bukan bagian dari madzhab syafi’i. Ketika mereka menemukan sebuah hadits yang menurut mereka shahih lantas kemudian mereka menisbatkan pendapat mereka tersebut kepada Imam Syafi’i sebab Imam Syafii mengatakan “إذا صح الحديث فهو مذهبي”.
Sungguh ini adalah sebuah kekeliruan yang nyata. Sebab mereka tidak paham terhadap makna kaidah tersebut. Mereka juga tidak mengerti tentang ushul madzhab syafi’i bahkan tidak menguasai ilmu madzhab syafi’i.
Imam Nawawi (w. 676 H) telah menjelaskan makna “إذا صح الحديث فهو مذهبي” dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Beliau berkata: maksud dari kaidah tersebut bukan berarti setiap orang yang menemukan hadits shahih kemudian dia mengatakan ini adalah madzhab syafi’i dan mengamalkan secara dzhahirnya saja. Akan tetapi maksudnya adalah diperuntukkan bagi orang yang sudah terpenuhi dalam dirinya syarat-syarat ijtihad dalam madzhab syafi’i. Misalnya dengan syarat dia harus mengetahui bahwa Imam Syafi’i tidak tahu tentang hadits tersebut dan sudah membaca semua kitab-kitabnya Imam Syafi’i dan kitab-kitab para ulama syafi’iyah. Dan sungguh syarat ini sangat berat ditemukan dalam diri sesorang kecuali sangat sedikit saja. Sebab bisa jadi ada sebuah hadits shahih ditinggalkan oleh Imam Syafii karena beliau tidak beramal dengan dzahirnya saja, atau mungkin karena hadits tersebut sudah dimansukh, ditakhsis dan ditakwil.[28]
Imam Ibnu Shalah (w. 643 H) juga mengatakan bahwa maksud perkataan Imam Syafi’i tersebut adalah bagi yang telah sempurna dalam dirinya semua perangkat ijtihad. bukan berarti mengamalkan hadits shahih secara dzahirnya saja. Sebab telah kita ketahui bersama bahwa Imam Ibnu Khuzaimah yang dikenal sebagai ahli hadits pernah mengatakan bahwa tidak ada satupun hadits shahih yang tidak diketahui oleh Imam Syafi’i.[29]
J. Pujian Ulama Besar Terhadap Imam Syafi’i
Seorang ulama dikatakan sebagai ulama besar yang menguasai ilmu agama bisa kita lihat seberapa banyak ulama sekelas mujtahid yang memujinya. Bukan melihat berapa banyak pujian murid-muridnya yang bukan ulama. Maka kita akan lihat kehebatan Imam Syafi’i sebab banyaknya ulama besar yang memuji keilmuan beliau.
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) mengatakan bahwa Imam Syafi’i bagaikan matahari yang menyinari dunia dan bagaikan kesehatan bagi setiap tubuh, maka apakah ada pengganti untuk kedua hal ini? Beliau berhujjah dengan hadits shahih dan pemahaman yang shahih.[30]
Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang paling mulia dan paling luas ilmunya. Dan beliau adalah imamnya para imam yang paham mengenai urusan agama dan paling santun akhlaknya.[31]
Imam Dzahabi (w. 748 H) mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah seorang imam besar yang alim dan penolong sunnah-sunnah Nabi SAW.[32]
Imam Suyuti (w. 911 H) mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah pemimpinnya para imam dan panutan seluruh umat.[33]
Imam Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah gurunya para guru, sebab beliau memiliki murid yang hebat bernama Imam Ahmad bin Hanbal.[34]
Imam al-Baihaqi (w. 458 H) berkata : saya telah meneliti semua pendapat-pendapat para imam madzhab berdasarkan pemahamanku terhadap al-Quran dan Hadits, maka saya temukan bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang paling banyak mengikuti sunnah Nabi SAW, paling kuat dalilnya serta hujjahnya dan paling benar qiyasnya. Semua ini karena kefasihan beliau dan tingginya ilmu yang dimilikinya.[35]
Imam Nawawi (w. 676 H) berkata: Imam kami adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i semoga Allah meridhainya dan memuliakannya. Saya berharap bisa dikumpulkan bersamanya di surga dan semoga dengan mengikutinya dan mencintainya saya mendapatkan manfaat yang banyak. Sesungguhnya seseorang akan bersama orang yang dicintai. Dan saya adalah termasuk orang yang mencintainya.[36]
K. Ushul Madzhab Syafi’i
Satu-satunya imam madzhab yang menuliskan ushul madzhabnya dalam sebuah kitab adalah Imam Syafi’i (w. 204 H). Beliau menyusun kitab ar-Risalah yang berisi kaidah-kaidah ushul fiqih. Para ulama juga mengatakan bahwa beliau adalah peletak dasar pertama ilmu ushul fiqih dan orang yang pertama kali menuliskan ilmu ushul fiqih dalam sebuah kitab tersendiri.
Imam Syafi’i (w. 204 H) berkata: tidaklah muncul sebuah masalah melainkan pasti ada dalilnya dari kitab Allah SWT melalui jalan dari petunjuknya.[37]
Secara umum ushul fiqih madzhab syafi’iy berpedoman pada al-Quran, al-Hadits, al-Ijma’ dan al-Qiyas. Walaupun dalam prakteknya beliau juga menggunakan dalil syar’i lainnya seperti istihsan, maslahah mursalah, istishab dan lain lain. Mengenai penjelasan ushul fiqih madzhab syafi’i secara detail bisa kita baca dalam kitab-kitab ushul yang dikarang oleh para ulama besar dalam madzhab syafi’i diantaranya:
1. Kitab ar-Risalah karya Imam Syafi’i (w. 204 H)
2. Kitab al-Mu’tamad karya Imam al-Husain al-Bashri (w. 436 H)
3. Kitab al-Burhan karya Imamul Haramain (w. 478 H)
4. Kitab al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
5. Kitab al-Mahsul Fii Ilmil Ushul karya Imam ar-Razi (w. 606 H)
6. Kitab al-Ihkam Fii Ushulil Ahkam karya Imam al-Amidi (w. 630 H)
7. Kitab Muntaha as-Saul karya Imam Ibnu al-Hajib (w. 646 H)
8. Kitab Minhajul Wushul Ila Ilmil Ushul karya Imam al-Baidhawi (w. 685 H)
9. Kitab al-Ibhaj karya Imam as-Subki (w. 756 H)
10. Kitab Jam’ul Jawami’ karya Imam as-Subki (w. 771 H)
11. Kitab Lubbul Ushul karya Imam Zakaria al-Anshari (w. 926 H)
12. Kitab at-Ta’arruf karya Imam Ibnu hajar al-Haitami (w. 974 H)
L. Kitab Fiqih Dalam Madzhab Syafi’i
Kitab fiqih madzhab syafi’i jumlahnya sangat banyak sekali. Ini menunjukkan keseriusan para ulama syafi’iyah dalam mengkaji ilmu fiqih madzhab syafi’i dengan analisa dalil yang kuat. Hingga bermunculan kitab-kitab matan dan kitab-kitab syarh fiqih syafi’i.
Berikut ini adalah nama-nama sebagian kitab fiqih madzhab syafi’i dari zaman Imam Syafi’i sampai sekarang:
1. Kitab al-Umm karya Imam Syafi’i (w. 204 H)
2. Kitab Mukhtashar al-Muzani karya Imam al-Muzani (w. 264 H)
3. Kitab al-Hawi al-Kabir karya Imam Mawardi (w. 450 H)
4. Kitab al-Muhadzdab karya Imam asy-Syairazi (w. 476 H)
5. Kitab Nihayatul Mathlab Fi Dirayatil Madzhab karya Imamul Haramin (w. 478 H)
6. Kitab al-Basit karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
7. Kitab al-Wasit karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
8. Kitab al-Wajiz karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
9. Kitab al-Khulasoh karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
10. Kitab al-Muharrar karya Imam Rofi’i (w. 623 H)
11. Kitab asy-Syarh al-Kabir karya Imam Rofi’i (w. 623 H)
12. Kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi (w. 676 H)
13. Kitab Raudhatut Thalibin karya Imam Nawawi (w. 676 H)
14. Kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi (w. 676 H)
15. Kitab Fathul Wahhab karya Imam Zakaria al-Anzhari (w. 926 H)
16. Kitab Tuhfatul Muhtaj karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H)
17. Kitab Mughnil Muhtaj karya Imam asy-Syirbini (w. 977 H)
18. Kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam Romli (w. 1004 H)
M. Musthalah Khusus Dalam Madzhab Syafi’i
Dalam madzhab syafi’i ada istilah khusus yang digunakan oleh para ulama syafi’iyah ketika berbicara dalam masalah fiqih. Diantara istilah-istilah tersebut adalah:
1. al-Aqwal adalah istilah untuk menyebutkan beberapa pendapat Imam Syafi’i dalam satu masalah.
2. at-Turuq adalah istilah untuk menyebutkan beberapa pendapat dari para ashab dalam meriwayatkan pendapat madzhab.
3. al-Wujuh adalah istilah untuk menyebutkan beberapa pendapat khilafiyah antar ashab.
4. al-Madzhab adalah istilah untuk menyebutkan pendapat resmi madzhab syafi’i.
5. an-Nash adalah istilah untuk menyebutkan perkataan dari Imam Syafi’i.
6. al-Masyhur adalah istilah untuk menyebutkan pendapat Imam Syafi’i yang masyhur dari dua pendapatnya. Istilah ini kebalikan dari al-Gharib.
7. al-Gharib adalah istilah untuk menyebutkan bahwa disana ada pendapat Imam Syafi’i yang masyhur.
8. al-Adzhar adalah istilah untuk menyebutkan pendapat yang rajih dari beberapa pendapat Imam Syafi’i dalam satu masalah.
9. al-Ashah adalah istilah untuk menyebutkan pendapat yang rajih dari beberapa pendapat para ashab.
10. al-Imam adalah istilah untuk menyebutkan nama Imamul Haramain al-Juwaini (w. 478 H)
11. al-Qadhi adalah istilah untuk menyebutkan nama al-Qadhi Husain (w. 462 H)
12. asy-Syaikhon adalah istilah untuk menyebutkan nama Imam Rofi’i (w. 623 H) dan Imam Nawawi (w. 676 H)
13. al-Qadhiyaani adalah istilah untuk menyebutkan nama Imam ar-Ruyani (w. 502 H) dan Imam al-Mawardi (w. 450 H)
N. Ulama Besar Yang Bermadzhab Syafi’i
Setiap madzhab tentu saja memiliki ulama yang terkenal dengan karyanya masing-masing dalam setiap cabang ilmu. Dibawah ini saya kumpulkan beberapa nama ulama yang bermadzhab syafi’i. Sebagian dari mereka juga sangat masyhur dalam ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul fiqih, ilmu fiqih dan lain lain.
No. | Nama Ulama | Wafat | Karya |
1 | Imam Syafi’i | 204 H | al-Umm, ar-Risalah |
2 | Imam Buwaiti | 231 H | Mukhtashar al-Buwaiti |
3 | Imam Ibnu Rahwaih | 238 H | – |
4 | Imam Abu Tsaur | 240 H | – |
5 | Imam Harmalah | 243 H | – |
6 | Imam al-Karabisi | 248 H | – |
7 | Imam Rabi’ al-Jaizi | 256 H | – |
8 | Imam Za’farani | 260 H | – |
9 | Imam al-Muzani | 264 H | Mukhtashar al-Muzani |
10 | Imam Rabi’ al-Muradi | 270 H | – |
11 | Imam Abu Hatim ar-Razi | 277 H | Tafsirul Quran |
12 | Imam at-Tirmidzi | 279 H | Sunan at-Tirmidzi |
13 | Imam Ibnu Suraij | 306 H | – |
14 | Imam at-Thabari | 310 H | Jami’ul Bayan |
15 | Imam Ibnu Khuzaimah | 311 H | Shahih Ibnu Khuzaimah |
16 | Imam Ibnu al-Mundzir | 319 H | Al-Ijma’ |
17 | Imam al-Asy’ari | 320 H | al-Ibanah |
18 | Imam Ibnu Abi Hatim | 327 H | Adabu asy-Syafi’i |
19 | Imam Abu Ishaq al-Marwazi | 340 H | – |
20 | Imam ad-Daruqutni | 385 H | Sunan ad-Daruqutni |
21 | Imam al-Isfiroyini | 406 H | Syikhu al-Iraq |
22 | Imam al-Muhamiliy | 415 H | al-Lubab fil FiqhiSyafii |
23 | Imam al-Qaffal al-Marwazi | 417 H | Syaikhu al-Khurasan |
24 | Imam Abu Ali as-Sanji | 430 H | – |
25 | Imam al-Juwaini | 438 H | Al-Jam’u wal Firoq |
26 | Imam al-Mawardi | 450 H | al-Hawi al-Kabir |
27 | Imam al-Baihaqi | 458 H | As-Sunan al-Kubro |
28 | Imam al-Qadhi Husain | 462 H | At-Ta’liqah |
29 | Imam al-Khatib al-Baghdadi | 463 H | Al-Ihtijaj bi asy-Syafi’i |
30 | Imam asy-Syairazi | 476 H | Al-Muhadzdzab |
31 | Imam Abul Ma’ali al-Juwaini | 478 H | Nihayatul Matlab Fi Dirayatil Madzhab |
32 | Imam ar-Ruyani | 502 H | Bahrul Madzhab |
33 | Imam al-Ghazali | 505 H | Al-Basit, Al-Wasit |
34 | Imam asy-Syasyi al-Qaffal | 507 H | Hilyatul Ulama |
35 | Imam al-Baghawi | 516 H | At-Tahdzib |
36 | Imam Salim al-Imrani | 558 H | Al-Bayan |
37 | Imam Ibnu Asakir | 571 H | Mu’jam Ibnu Asakir |
38 | Imam Abu Syuja’ | 593 H | At-Taqrib |
39 | Imam Fakhruddin ar-Razi | 606 H | Mafatihul Ghaib |
40 | Imam ar-Rafi’i | 623 H | Asy-Syarh al-Kabir |
41 | Imam Ibnu as-Shalah | 643 H | Muqodimah Ibnu Shalah |
42 | Imam al-Izz Ibnu Abdissalam | 660 H | Qawaidul Ahkam |
43 | Imam an-Nawawi | 676 H | Al-Majmu’ |
44 | Imam al-Baidhawi | 685 H | Minhajul Wushul |
45 | Imam Ibnu Daqiq al-Iid | 702 H | Ihkamul Ahkam |
46 | Imam ad-Dimyati | 705 H | Ahaditsu ‘Awali |
47 | Imam Ibnu ar-Rif’ah | 710 H | Kifayatun Nabih |
48 | Imam Ibnu al-Atthar | 724 H | Al-Uddah |
49 | Imam al-Mizzi | 742 H | Tahdzibul Kamal |
50 | Imam adz-Dzahabi | 748 H | Siyar A’lamin Nubala’ |
51 | Imam Taqiyuddin as-Subki | 758 H | Al-Ibhaj |
52 | Imam Tajuddin as-Subki | 771 H | Tabaqat Syafiiyah Kubro |
53 | Imam al-Isnawi | 772 H | Al-Hidayah |
54 | Imam Ibnu Katsir | 774 H | alBidayah wan-Nihayah |
55 | Imam az-Zarkasyi | 794 H | Al-Burhan |
56 | Imam Ibnul Mulaqqin | 804 H | At-Tadzkirah |
57 | Imam al-Hafidz al-Iraqi | 806 H | At-Taqyid wal Iidhoh |
58 | Imam ad-Damiri | 808 H | An-Najmu al-Wahhaj |
59 | Imam Taqiyuddin al-Hisni | 829 H | Kifayatul Akhyar |
60 | Imam Ibnul Jazari | 833 H | Muqadimah jazariyah |
61 | Imam Ibnu Raslan | 844 H | Az-Zubad |
62 | Imam Ibnu Hajar al-Asqalani | 852 H | Fathul Baari |
63 | Imam as-Sakhawi | 902 H | Al-Ghayah |
64 | Imam as-Suyuti | 911 H | Al-Itqan |
65 | Imam Syamsuddin al-Ghazzi | 918 H | Fathul Qarib |
66 | Imam Zakaria al-Anshari | 926 H | Asnal Mathalib |
67 | Imam Ibnu Hajar al-Haitami | 974 H | Tuhfatul Muhtaj |
68 | Imam asy-Syirbini | 977 H | Mughnil Muhtaj |
69 | Imam al-Malibari | 987 H | Fathul Mu’iin |
70 | Imam ar-Ramli | 1004 H | Nihayatul Muhtaj |
71 | Imam al-Qalyubi | 1068 H | Hasyiah al-Qalyubi |
72 | Imam al-Bujairimi | 1221 H | Hasyiah al-Bujairimi |
73 | Imam al-Baijuri | 1276 H | Hasyiah Al-Baijuri |
74 | Syaikh ad-Dimyati | 1310 H | I’anathut Thalibin |
75 | Syaikh Nawawi al-Bantani | 1316 H | Nihayatuz Zain |
76 | Syaikh al-Ghumrawi | 1337 H | As-Siraj al-Wahhaj |
77 | Syaikh Ahmad Dahlan | 1344 H | Kitab fiqih |
78 | Syaikh Hasyim Asy’ari | 1367 H | Risalah Ahlus Sunnah |
79 | Syaikh Yasin al-Fadani | 1410 H | Al-Fawaid al-Janiyah |
80 | Syaikh asy-Sya’rawi | 1419 H | Al-Fiqh al-Islami |
81 | Syaikh Ahmad Nahrawi | 1420 H | Al-Imam asy-Syafi’i |
82 | Syaikh Ramadhan al-Buthi | 1434 H | Fiqhus Sirah |
83 | Syaikh Wahbah az-Zuhaili | 1436 H | Al-Fiqh al-Islami |
84 | Syaikh Hasan Hito | – | Al-Ijtihad |
85 | Syaikh Ali Jum’ah | – | Al-Madkhal |
O. Apa Itu Qaul Qadim dan Qaul Jadid?
Dalam dunia ilmu fiqih kita mengenal adanya Madzhab-Madzhab ulama salaf yang terkenal dengan keilmuannya. Tentu saja Madzhab para ulama salaf kita banyak sekali jumlahnya. Hanya saja Madzhab yang sampai sekarang masih terus dipelajari dan diikuti ajarannya ada 4 yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Dari 4 Madzhab tersebut ada salah satu madzhab yang sangat unik sekali untuk dibahas. Dimana madzhab ini terkenal dengan pendirinya yang memiliki dua Qaul (pendapat) yang mungkin secara sekilas terlihat berbeda. Madzhab ini adalah Madzhab Syafi’i yang masyhur dengan adanya istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
Qaul Qadim secara bahasa artinya adalah pendapat lama. Adapun Qaul Jadid secara bahasa adalah pendapat baru. Sedangkan menurut istilah, para ulama syafiiyah memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid. namun maknanya sebenarnya sama.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) mengatakan bahwa Qaul Qadim adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) yang beliau ucapkan sebelum pindah ke Mesir. Sedangkan Qaul Jadid adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) yang beliau ucapkan setelah pindah ke Mesir.[38]
Imam asy-Syirbini (w. 977 H) mengatakan bahwa Qaul Qadim adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) yang beliau ucapkan ketika masih berada di Iraq dalam kitabnya al-Hujjah. Sedangkan Qaul Jadid adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) yang beliau ucapkan ketika beliau berada di Mesir.[39]
Imam Romli (w. 1004 H) mengatakan bahwa Qaul Qadim adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) yang beliau ucapkan ketika masih berada di Iraq yang mana Qaul Qadim ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Imam az-Za’farani (w. 260 H), Imam al-Karabisi (w. 248 H) dan Imam Abu Tsaur (w. 240 H). Sedangkan Qaul Jadid adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) yang beliau ucapkan ketika beliau berada di Mesir yang mana Qaul Jadid ini diriwayatkan oleh Imam al-Buwaiti (w. 231 H), Imam al-Muzani (w. 264 H), Imam Rabi’ al-Muradi (w. 270 H), Imam Rabi al-Jaizi (w. 256 H) dan Imam Harmalah (w. 243 H).[40]
Dari beberapa defini para ulama diatas bisa kita simpulkan bahwa intinya Qaul Qadim adalah pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) ketika beliau berada di Iraq. Sedangkan Qaul Jadid adalah pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) ketika beliau berada di Mesir.
P. Contoh Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Berikut ini adalah beberapa contoh Qaul Qadim dan Qaul Jadidnya Imam Syafi’i (w. 204 H). Penulis kumpulkan semua qaul ini dari kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi (w. 676 H). Penulis membaginya menjadi 6 bagian yang berbeda.
1. Qaul Jadid yang merevisi Qaul Qadim dan yang dipakai sebagai pendapat madzhab adalah Qaul Jadidnya.
No | Topik | Qaul Qadim | Qaul Jadid |
1. | Masalah air yang kurang dari dua qullah dan terkena najis. | Airnya tetap suci kecuali jika berubah warna, bau dan rasanya. | Airnya menjadi najis baik berubah maupun tidak berubah. |
2. | Masalah muwalat dalam wudhu (berkesinambungan). | Wajib muwalat, jika tidak maka wudhunya batal. | Muwalat hukumnya sunnah. |
3. | Masalah kesucian kulit bangkai yang disamak. | Suci bagian luarnya saja adapun bagian dalamnya tetap najis. | Suci bagian luar dan dalamnya. |
4. | Masalah hukum menjual kulit yang disamak. | Tidak boleh dijual karena kenajisannya masih ada dibagian dalamnya. | Boleh dijual karena kenajisannya sudah hilang dengan disamak. |
5. | Masalah kesucian rambut manusia yang sudah meninggal. | Rambut mayit hukumnya najis. | Rambut mayit hukumnya suci. |
6. | Masalah menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak. | Hukumnya makruh tanzih. | Hukumnya makruh tahrim. |
7. | Masalah lupa tertib (berurutan) dalam wudhu. | Wudhunya tetap sah. | Wudhunya batal. |
8. | masalah batalkah wudhu seseorang jika tertidur dalam keadaan berdiri, ruku’ dan sujud | Wudhunya tidak batal. | Wudhunya batal. |
9. | Menyentuh dubur apakah membatalkan wudhu. | Wudhunya tidak batal. | Wudhunya batal. |
10. | Masalah hukum membaca al-Quran bagi wanita haid. | Boleh membaca al-Quran bagi wanita haid. | Tidak boleh membaca al-Quran bagi wanita haid. |
2. Qaul Jadid yang merevisi Qaul Qadim dan yang dipakai sebagai pendapat madzhab adalah Qaul Qadimnya.
No | Topik | Qaul Qadim | Qaul Jadid |
1. | Masalah air dua qullah yang terkena najis kering. | Boleh digunakan selama tidak berubah warna, bau dan rasanya. | Tidak boleh digunakan baik berubah maupun tidak berubah. |
2. | Masalah memakan kulit bangkai yang sudah disamak. | Haram hukumnya memakan kulit bangkai walaupun sudah disamak. | Boleh memakan kulit bangkai yang sudah disamak. |
3. | Masalah hukum membaca ta’min bagi imam. | Dikeraskan suara ta’min. | Tidak dikeraskan suara ta’min. |
4. | Masalah hukum membaca surah-surah al-quran di rakaat ke 3 dan 4. | Tidak disunnahkan membaca surah al-Quran di rakaat ke 3 dan 4. | Disunnahkan membaca surah al-Quran di rakaat ke 3 dan 4. |
5. |
3. Qaul Jadid yang sama persis dengan Qaul Qadim (tidak ada revisi pendapat).
No | Topik | Qaul Qadim | Qaul Jadid |
1. | Masalah air yang telah digunakan untuk bersuci atau air musta’mal. | Tidak mensucikan. | Tidak mensucikan |
2. | Masalah lupa membaca basmalah ketika wudhu. | Tetap disunnahkan membaca basmalah ketika ingat sekalipun ditengah-tengah wudhu. | Tetap disunnahkan membaca basmalah ketika ingat sekalipun ditengah-tengah wudhu. |
3. | Masalah bersentuhan kulit lawan jenis batal wudhunya orang yang menyentuh, apakah yang disentuh juga batal? | Wudhunya batal. | Wudhunya batal. |
4. | Masalah menyentuh mahram. | Wudhunya tidak batal. | Wudhunya tidak batal. |
5. | Masalah batas akhir waktu shalat ashar. | Sampai terbenamnya matahari. | Sampai terbenamnya matahari. |
6. | Masalah Tatswib dalam shalat shubuh. | Tatswib hukumnya sunnah. | Tatswib hukumnya sunnah. |
7. | Masalah kapan sujud sahwi afdhal dilakukan. | Boleh dilakukan sebelum salam dan sesudah salam. Namun yang afdhal sebelum salam. | Boleh dilakukan sebelum salam dan sesudah salam. Namun yang afdhal sebelum salam. |
8. | Masalah orang yang sudah shalat secara berjmaah kemudian ikut shalat jamaah lagi. | Disunnahkan ikut shalat lagi secara berjamaah. | Disunnahkan ikut shalat lagi secara berjamaah. |
9. | Masalah hukum menghias mushaf dengan perak. | Hukumnya boleh. | Hukumnya boleh. |
10. | Masalah hukum shalat jumat bertepatan dengan hari raya. | Shalat jumat tetap wajib bagi ahlul balad. Tidak wajib bagi ahlul quro. | Shalat jumat tetap wajib bagi ahlul balad. Tidak wajib bagi ahlul quro. |
4. Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang tidak diketahui mana yang rajih dari keduanya.
No | Topik | Qaul Qadim | Qaul Jadid |
1. | Masalah hukum tayammum dengan pasir. | Boleh tayammum dengan pasir. | Tidak boleh tayammum dengan pasir. |
2. | Masalah tayammum dengan tanah yang bercampur dengan najis yang sudah melebur kering. | Suci dan boleh untuk tayammum. | Najis dan tidak boleh untuk tayammum. |
3. | Masalah meniup tanah/debu sebelum bertayammum. | Sunnah dan dianjurkan | Tidak dianjurkan. |
4. | Masalah shalat jamaah bagi orang yang tidak berbusana sama sekali. | Sebaiknya shalat sendiri sendiri. Tidak perlu berjamaah. | Boleh secara berjamaah dan boleh secara sendiri-sendiri. |
5. | Masalah kesalahan dalam menentukan arah kiblat. | Tidak perlu mengulangi. Sebab dia telah berijtihad dalam menentukan kiblatnya. | Harus mengulangi shalatnya. |
6. | Masalah sutrah shalat dengan mengunakan garis. | Sutrah dengan garis hukumnya sunnah. | Tidak perlu sutrah dengan garis. |
7. | Masalah hukum mengqadha’ shalat sunnah. | Tidak perlu diqadha’. | Dianjurkan untuk mengqadha’. |
5. Qaul Qadim yang tidak ada Qaul Jadidnya.
No | Topik | Qaul Qadim | Qaul Jadid |
1. | Masalah hukum mandi untuk thawaf wada’. | Hukumnya sunnah. | Tidak ada nash jadid. |
2. | Masalah hukum mandi bagi orang berbekam. | Hukumnya sunnah. | Tidak ada nash jadid. |
3. | Masalah muadzin lebih dari dua orang. | Muadzin boleh lebih dari dua orang. | Tidak ada nash jadid. |
4. | Masalah hukum menjawab salam dalam shalat. | Disunnahkan menjawab salam dengan isyarat tangan. | Tidak ada nash jadid. |
5. |
6. Qaul Qadim dan Qaul Jadid terjadi khilafiyah antara mana yang paling rajih dari keduanya.
No | Topik | Qaul Qadim | Qaul Jadid |
1. | Masalah batalkah wudhu sebab makan daging unta. | Wudhunya batal. Menurut Imam Nawawi ini pendapat yang paling rajih. | Wudhunya tidak batal. Menurut Ashab ini pendapat yang paling rajih. |
2. | Masalah tayammum mengusap tangan sampai siku atau pergelangan tangan saja. | Sunnahnya sampai pergelangan tangan saja. Menurut Imam Nawawi ini pendapat yang paling rajih. | Sunnahnya sampai siku. Menurut Ashab ini pendapat yang paling rajih. |
3. | Masalah berniat tayammum dengan debu yang berterbangan ke wajah dan tangan. | Tayammumnya sah. Menurut Imam Ghazali dan al-Isfiroyini ini pendapat yang paling rajih. | Tidak sah tayammumnya. Menurut Imam Nawawi ini pendapat yang paling rajih. |
4. | Masalah tayamum namun masih ada air sedikit. | Cukup tayammum saja. Menurut Imam al-Muzani dan Ibnul Mundzir ini pendapat yang paling rajih. | Harus menggunakan air tersebut kemudian tayammum. Menurut Imam Nawawi dan Ashab ini pendapat yang paling rajih. |
5. | Masalah cara mensucikan benda yang terkena najis babi. | Dibasuh satu kali saja. Menurut Imam Nawawi ini pendapat yang paling rajih. | Dibasuh 7 kali seperti najis anjing. Menurut Ashab ini pendapat yang paling rajih. |
6. | Masalah batas akhir waktu shalat maghrib. | Waktu maghrib ada dua, yaitu ketika matahari terbenam dan sampai hilangnya megah merah. Menurut Imam Nawawi ini pendapat yang paling rajih. | Waktu maghrib hanya satu yaitu ketika terbenam matahari. Menurut Ashab ini pendapat yang paling rajih. |
7. | Masalah batas akhir waktu shalat isya’. | Batas akhirnya sampai pertengahan malam. Menurut Abu Ishaq al-Marwazi dan ar-Ruyani ini pendapat yang paling rajih. | Batas akhirnya sampai sepertiga malam yang akhir. Menurut Imam Rofi’i, Nawawi, al-Ghazali dan al-Mawardi ini pendapat yang paling rajih. |
8. | Masalah hukum bayar hutang puasa bagi orang yang sudah meninggal dunia. | Walinya berpuasa bagi mayit tersebut. Menurut Imam Nawawi ini pendapat yang paling rajih. | Walinya membayarkan fidyah. Menurut Ashab ini pendapat yang paling rajih. |
Q. Apakah Imam Syafi’i Punya Dua Madzhab Yang Berbeda?
Setiap ada dua pendapat Imam Syafii (w. 204 H) dalam satu masalah maka pendapat Qoul Jadid (pendapat baru) adalah pendapat yang dipakai. Sebab Qoul Qodim (pendapat lama) sudah direvisi, maksudnya Qoul Qodim (pendapat lama) yang memang ada Qoul Jadid (pendapat baru) yang merevisinya. Adapun Qoul Qodim (pendapat lama) Imam Syafii (w. 204 H) yang tidak direvisi atau tidak ditemukan Qoul Jadidnya (pendapat baru) maka Qoul Qodim (pendapat lama) yang seperti ini tetap dipakai dan diamalkan.
Para ulama Syafiiyah sering menyebut Qoul Qodim (pendapat lama) Imam Syafii (w. 204 H) telah direvisi dan tidak diamalkan lagi sebab memang kebanyakan seperti itu kecuali beberapa masalah saja. Bahkan ada sebagian ulama Syafiiyah yang berpendapat bahwa ditemukan sekitar 20 masalah dimana Qoul Qodim (pendapat lama) masih bisa diamalkan dan lebih kuat dari pada Qoul Jadidnya (pendapat baru).
Sebagian orang salah paham mengenai Qoul Qodim (pendapat lama) dan Qoul Jadid (pendapat baru) Imam Syafii (w. 204 H). Mereka menganggap kedua Qoul tersebut adalah dua madzhab yang berbeda. Padahal setelah diteliti sebenarnya madzhab Imam Syafii (w. 204 H) itu hanya satu. Dan saya sepakat dengan pendapat Syaikh Ahmad Nahrowi (w. 1420 H) dimana beliau berkata “Sesungguhnya madzhab Imam Syafii (w. 204 H) adalah satu, adapun penyebutan Qoul Qodim (pendapat lama) dan Qoul Jadid (pendapat baru) adalah sebatas kalimat majaz saja”.[41]Penyebutan Qoul Qodim (pendapat lama) dan Qoul Jadid (pendapat baru) hanya karena perbedaan tempat ketika berfatwa.
R. Ciri Khas Pendapat Madzhab Syafi’i
Ketika kita belajar fiqih perbandingan madzhab khususnya madzhab 4 yang masyhur, maka kita dapati khilafiyah atau perbedaan pendapat diantara madzhab-madzhab tersebut. Setiap madzhab memiliki pendapat khas yang terkadang sangat berbeda dibanding dengan madzhab yang lain.
Sebagai contoh dalam madzhab syafi’i ada beberapa pendapat yang sebagiannya terkadang berbeda dengan pendapat jumhur ulama. Misalnya dalam bab thaharah madzhab syafii memiliki pendapat khas yang agak berbeda dengan madzhab lainnya, diantaranya:
1. Air mani tidak najis.
2. Sucinya kulit bangkai dengan disamak kecuali bangkai anjing dan babi.
3. Babi termasuk najis mughalladzah yang harus dibasuh 7 kali dan salah satu basuhan dicampur dengan tanah.
4. Mengusap sebagian kepala dalam wudhu.
5. Tayammum hingga siku tangan.
6. Batalnya wudhu karena sentuhan kulit antar lawan jenis.
Dalam bab shalat madzhab syafii juga memiliki pendapat yang agak berbeda dengan madzhab lainnya, diantaranya:
1. Melafadzkan niat shalat hukumnya sunnah.
2. Wajib bagi imam dan makmum membaca surat al-Fatihah.
3. Mengeraskan bacaan basmalah ketika membaca al-Fatihah.
4. Adanya kesunnahan shalat qabliyah jum’at.
5. Adanya istilah sunnah hai’at dan sunnah ab’adh.
6. Disunnahkan meletakkan kedua tangan diatas pusar.
7. Disunnahkan doa qunut dalam shalat shubuh.
8. Disunnahkan isyarat telunjuk pada lafadz “illallah”.
S. Sifat Shalat Nabi Ala Madzhab Syafi’i
Kita tahu bahwa dari masa ke masa seluruh umat islam menggunakan tata cara ibadah shalat dari 4 madzhab yang ada yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafiiy dan Hanbali. Tentu saja masing-masing madzhab ini menuliskan Shifat Shalat Nabi dalam kitab-kitab fiqih mereka dengan versi yang berbeda beda sesuai dengan dalil yang diyakini kebenarannya oleh masing-masing madzhab.
Penulis hanya ingin menyampaikan bahwa sebenarnya Shifat Shalat Nabi memang banyak versinya. Bukan berarti Shifat Shalat Nabi ‘Ala Madzhab Syafi’i ini adalah satu-satunya Shifat Shalat Nabi yang paling shahih. Sebab bisa jadi Shifat Shalat Nabi Versi Madzhab lain juga sesuai dengan dalil-dalil yang shahih.
Bahkan ada juga sebagian golongan yang menganggap bahwa Shifat Shalat Nabi karya Syaikh al-Albani (w. 1420 H) adalah Shifat Shalat Nabi yang paling ter-shahih di dunia. Tentu saja anggapan ini kurang tepat. Sebab banyak ulama yang menyusun tentang Shifat Shalat Nabi selain Syaikh al-Albani seperti Syaikh al-Utsaimin (w. 1421 H) dan ulama lainnya. Dalam kenyataannya masing-masing ulama berbeda dalam menentukan mana Shifat Shalat Nabi yang paling benar sesuai dengan dalil-dalil yang shahih.
Shifat Shalat Nabi Ala Madzhab Syafi’i yang akan penulis susun ini merujuk kepada berbagai macam kitab-kitab madzhab syafiiy yang mu’tamad. Khususnya penulis merujuk kepada kitab ”al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya imam Nawawi (w. 676 H) Rahimahullah.
InsyaAllah akan penulis sertakan juga berbagai macam dalil dari al-quran dan hadits-hadits yang shahih dalam setiap pembahasan sifat shalat menurut madzab syafiiy. InsyaAllah pembahasan tentang shifat shalat nabi ala madzhab syafi’i ini bersambung pada tulisan selanjutnya. Wallahu a’la’lam
[1] Nawawi, Tahdzibul Asma’ wal-Lughat, (Bairut: Darul Fikr), Jilid 1 halaman 44.
[2] Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala’, (Kairo: Darul Hadits), jilid 8 halaman 236.
[3] As-Suyuti, Thabaqatul Huffadz, (Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah), jilid 1 halaman 157.
[4] Ibnu Katsir, Thabaqatu asy-Syafi’iyiin, (Maktabah Tsaqafah Diniyah) jilid 1 halaman 2.
[5] Sebelum munculnya kitab Shahih Bukhari karya Imam Bukhari (w. 256 H) kitab al-Muwatta’ adalah kitab tershahih di dunia setelah al-Quran. Kemudian setelah muncul kitab Shahih Bukhari, Imam Ibnu Shalah (w. 643 H) dan Imam Nawawi (w. 676 H) mengatakan kitab tershahih di dunia setelah al-Quran adalah kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Wallahu a’lam.
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tawalii at-Ta’sis, (Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah), halaman 54.
[7] Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, (Bairut: Darul Fikr), Jilid 1 halaman 8.
[8] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tawalii at-Ta’sis, (Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah), halaman 55.
[9] Ibnu Katsir, Thabaqatu asy-Syafi’iyiin, (Maktabah Tsaqafah Diniyah) jilid 1 halaman 3.
[10] al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafi’i, (Kairo: Dar at-Turats), jilid 1 halaman 96.
[11] Ibnu Katsir, Thabaqatu asy-Syafi’iyiin, (Maktabah Tsaqafah Diniyah) jilid 1 halaman 3.
[12] al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafi’i, (Kairo: Dar at-Turats), jilid 1 halaman 101.
[13] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tawalii at-Ta’sis, (Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah), halaman 73.
[14] Nawawi, Tahdzibul Asma’ wal-Lughat, (Bairut: Darul Fikr), Jilid 1 halaman 46.
[15] Nawawi, Tahdzibul Asma’ wal-Lughat, (Bairut: Darul Fikr), Jilid 1 halaman 18.
[16] Ibnu Katsir, Thabaqatu asy-Syafi’iyiin, (Maktabah Tsaqafah Diniyah) jilid 1 halaman 5.
[17] Ibnu Katsir, Thabaqatu asy-Syafi’iyiin, (Maktabah Tsaqafah Diniyah) jilid 1 halaman 7.
[18] Ibnu Katsir, Thabaqatu asy-Syafi’iyiin, (Maktabah Tsaqafah Diniyah) jilid 1 halaman 5.
[19] Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala’, (Kairo: Darul Hadits), jilid 8 halaman 254.
[20] Ibnu Katsir, Thabaqatu asy-Syafi’iyiin, (Maktabah Tsaqafah Diniyah) jilid 1 halaman 253.
[21] Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala’, (Kairo: Darul Hadits), jilid 8 halaman 271.
[22] Ibnu Katsir, Thabaqatu asy-Syafi’iyiin, (Maktabah Tsaqafah Diniyah) jilid 1 halaman 5.
[23] Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala’, (Kairo: Darul Hadits), jilid 8 halaman 271.
[24] Ibnu Katsir, Thabaqatu asy-Syafi’iyiin, (Maktabah Tsaqafah Diniyah) jilid 1 halaman 5.
[25] Ibnu Katsir, Thabaqatu asy-Syafi’iyiin, (Maktabah Tsaqafah Diniyah) jilid 1 halaman 5.
[26] Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala’, (Kairo: Darul Hadits), jilid 8 halaman 268.
[27] Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, (Bairut: Darul Fikr), Jilid 1 halaman 25.
[28] Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, (Bairut: Darul Fikr), Jilid 1 halaman 64.
[29] Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, (Bairut: Darul Fikr), Jilid 1 halaman 64.
[30] Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala’, (Kairo: Darul Hadits), jilid 8 halaman 253.
[31] Ibnu Katsir, Thabaqatu asy-Syafi’iyiin, (Maktabah Tsaqafah Diniyah) jilid 1 halaman 2.
[32] Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala’, (Kairo: Darul Hadits), jilid 8 halaman 265.
[33] Suyuti, Tadzkiratul Huffadz, (Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah), jilid 1 halaman 157.
[34] Ibnu Katsir, Thabaqatu asy-Syafi’iyiin, (Maktabah Tsaqafah Diniyah) jilid 1 halaman 5.
[35] Baihaqi, Ma’rifatu as-Sunan wal Atsaar, (Bairut: Daru Qutaibah), jlid 1 halaman 209.
[36] Nawawi, Tahdzibul Asma’ wal-Lughat, (Bairut: Darul Fikr), Jilid 1 halaman 67.
[37] Asy-Syafi’i, ar-Risalah, (Mesir: Maktabah al-Halbi), jilid 1 halaman 19.
[38] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj Fii Syarhil Minhaj, (Mesir: Maktabah Tijariyah) jilid 1 halaman 53.
[39] Asy-Syirbini, Mughnil Muhtaj, (Darul Kutub al-Ilmiyah), jilid 1 halaman 107.
[40] Ar-Romli, Nihayatul Muhtaj Ilaa Syarhil Minhaj, (Bairut: Darul Fikr), Jilid 1 halaman 50.
[41] Ahmad Nahrawi, al-Imam asy-Syafii Fii Madzhabaihi al-Qadim wal-Jadid
co.alfaruq bin anwar.
Komentar
Posting Komentar